Senin, 18 Januari 2021

TIMANG: Aplikasi pertama buatan sendiri untuk membantu menghitung gerakan janin


Hi Moms!

🔎 bagaimana ya kondisi janin saya dalam keseharian?

🔎 bagaimana ya cara mengecek kondisi janin saya?

🔎 apa itu menghitung gerakan janin dan bagaimana caranya?


TIMANG App

(fetal diary on movement and activity counting)

Diary aktivitas bayi dalam kandungan trimester 3


Solusi sederhana dan efektif untuk memantau kondisi dan kesehatan janin dalam keseharian


https://play.google.com/store/apps/details?id=com.projek.timang


Kematian janin mendadak dalam kandungan merupakan sebuah tragedi baik bagi Ibu, keluarga maupun tim dokter yang menangani. Sekitar 6 dari 1000 kelahiran atau 3.2 juta kematian janin terjadi setiap tahunnya. 

Sekitar 55% kematian janin dalam kandungan didahului dengan pergerakan janin yang menurun dan dirasakan oleh Ibunya. Penurunan aliran darah plasenta dan gawat janin berhubungan dengan penurunan gerakan janin.

Konsep penghitungan gerakan janin sangat rasional karena mudah, tidak membutuhkan alat canggih dan dapat dilakukan oleh semua wanita, yaitu dengan menghitung seberapa banyak gerakan janin tiap harinya. Pengambilan keputusan yang tepat dari adanya penurunan gerak janin ini dapat membantu upaya penurunan angka kematian janin dalam kandungan secara signifikan.

Meskipun menghitung gerakan janin menjadi salah satu usaha paling mudah dalam mengetahui kondisi kesehatan janin. Bumil dan keluarganya terkadang tidak tahu atau kebingungan dalam melakukannya. 

"Aplikasi TIMANG hadir untuk membantu dan memudahkan penghitungan ini"

Aplikasi TIMANG

Semoga dapat menjadi manfaat ya Moms


Salam,

Taufan Brahmantoro & Manggala Pasca Wardhana


Supported by:

# kelola.net

# IHCI



Tokoh Tempo 2020: Para Pejuang Covid-19

Mendapatkan kesempatan menjadi salah satu yang diwawancarai Tempo 2020, semoga bisa menjadi pengalaman yang bermanfaat bagi orang banyak



Selengkapnya dapat dibaca di: Tokoh Tempo 2020: Para Pejuang Covid-19



Minggu, 02 Agustus 2020

Kehamilan dan Persalinan di era Wabah Covid-19




Liputan6.com, Jakarta Kata ‘new normal’ atau ‘normal baru’ sudah mulai didengungkan oleh Pemerintah Indonesia, seiring dengan dilepasnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah yang cukup berat terdampak COVID-19. Meskipun secara umum pegumuman dari Gugus Tugas COVID-19 di Indonesia yang kita dengar setiap sore menunjukkan kasus baru dari COVID-19 yang tidak menurun, bahkan cenderung meningkat grafiknya (pada saat tulisan ini dibuat, didapatkan kasus baru 1017 di tanggal 15 Juni 2020).

Dalam perspektif layanan kesehatan, kondisi normal baru ini tidak bisa disikapi sama seperti berhentinya kebijakan pembatasan sosial melainkan ini menjadi kondisi alert bagi kita dimana layanan kesehatan kita yang sudah sangat terdampak badai COVID-19 harus semakin bersiap, meskipun dalam kondisi yang serba tidak ideal. Hal inipun tidak terkecuali pada layanan kehamilan dan persalinan.

Jika dahulu kehamilan dan persalinan disambut dengan suatu kondisi yang sangat bebas berekspresi dalam menyambut buah hati, sekarang kebahagiaan tersebut harus disikapi dengan kondisi yang berbeda dan harus dipahami dengan baik oleh bumil dan pasangan yang berencana untuk hamil. Sikap positif dan mempelajari perubahan layanan kehamilan dan persalinan ini sangat penting agar generasi yang dihasilkan juga menjadi generasi yang sehat dan optimal meskipun dilahirkan di era pandemi COVID-19.

Secara umum, rekomendasi dunia menunjukkan kehamilan adalah populasi yang rentan dikarenakan adanya regulasi sistem imun agar tubuh dapat menerima janin dengan baik, sehingga pada pengalaman wabah sebelumnya (MERS dan SARS), didapatkan kondisi penyakit yang lebih berat pada kehamilan. Hingga saat ini, beberapa publikasi penelitian menunjukkan bahwa berat ringannya infeksi COVID-19 hampir sama dengan pasien yang tidak hamil dengan proporsi sekitar 86 persen dengan gejala ringan dan 4.7 persen dalam kondisi kritis, belum ada bukti transmisi vertikal virus SARS-CoV-2 ke janin dan tidak adanya peningkatan angka kematian Ibu dan bayi dibandingkan kondisi tanpa infeksi. Namun perlu dipahami bahwa publikasi ini mayoritas dilakukan di negara maju dengan layanan kesehatan yang tentunya lebih siap. Sebaliknya, beberapa penelitian lain di negara berkembang menunjukkan cukup banyaknya kematian maternal (ibu hamil dan persalinan) yang patut kita waspadai.

Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada data publikasi dari Indonesia, namun secara logika, jumlah bumil yang terinfeksi COVID-19 akan berjalan linear dengan jumlah infeksi secara umum. Tentunya virus tidak akan memilih akan menginfeksi pasien tertentu dikarenakan penularannya yang cukup mudah melalui droplet. Sehingga dapat dipahami jika jumlah COVID-19 di Indonesia tetap meningkat maka akan kita temui juga ibu hamil dan persalinan yang terinfeksi COVID-19 dalam jumlah yang banyak.

Sebagai perbandingan, di Malaysia yang saat ini ‘hanya’ melaporkan ±10 kasus baru juga hanya mendapatkan data persalinan total dengan COVID-19 sebanyak ±50 kasus di satu negara. Data lokal di satu Rumah Sakit rujukan Jawa Timur tempat kami bekerja saja sudah mendapati sekitar 20 kasus persalinan dengan COVID-19. Mungkin angka ini masih jauh dari angka sesungguhnya karena kita ketahui bersama bahwa kapasitas tes swab dengan PCR kita sangatlah sedikit dan belum mencapai target pemerintah yaitu 20.000 spesimen sehari. Sebagai perbandingan lagi, dari data Worldometers jika dibandingkan per 1 juta penduduk, jumlah tes kita hanya sebanyak 1.913 tes dimana jumlah ini merupakan sepersepuluh tes yang dilakukan Malaysia sebanyak 19.117 tes.

Dari perbandingan di atas dapat dipahami kemungkinan jumlah kehamilan dengan COVID-19 dapat menjadi cukup tinggi di Indonesia, yang tentunya dapat menambah permasalahan yang sudah ada di negara kita yaitu tingginya angka kematian Ibu. Hal ini perlu dipahami bersama sehingga dapat kita antisipasi bersama. Pengetahuan yang cukup dan respons positif dari ibu hamil diperlukan dan diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan, persalinan sehingga dapat menghasilkan generasi yang sehat dan berkualitas.

 

Adaptasi Pelayanan Maternal di Era Normal Baru

Adaptasi pelayanan maternal pada kehamilan dan persalinan di era normal baru ini senantiasa difokuskan pada upaya menjaga ibu hamil dan bersalin dari infeksi COVID-19. Antenatal Care atau kontrol kehamilan rutin dimodifikasi dan digantikan secara virtual baik dengan telemedicineataupun media komunikasi lainnya.

Tujuan utama adaptasi ini adalah untuk menurunkan paparan wanita hamil sehat terhadap kemungkinan terinfeksi oleh seseorang yang positif COVID-19 dan mengurangi penumpukan pasien di poliklinik agar pelayanan dapat difokuskan pada kasus kehamilan yang memang memerlukan evaluasi secara khusus (terutama pada kehamilan risiko tinggi).

Secara umum. kontrol kehamilan secara langsung atau tatap muka cukup dilakukan pada trimester satu (skrining kondisi kehamilan pada kunjungan awal), melakukan evaluasi janin di trimester dua dan perencanaan persalinan di trimester tiga (1 bulan sebelum persalinan). Kontrol rutin di waktu lainnya dapat dilakukan dengan metode virtual. Tentunya seperti telah disebutkan sebelumnya, pada kondisi khusus terutama pada kehamilan risiko tinggi, kontrol kehamilan akan dimodifikasi oleh dokter sesuai kebutuhan pasien.

Aktivitas ibu hamil juga perlu diperhatikan, jika ibu hamil diharuskan bekerja, pastikan tetap menjaga kesehatan, menggunakan masker, menerapkan physical distancing dan melaksanakan protokol kesehatan lainnya dengan konsisten. Pastikan asupan nutrisi dan gizi dicukupi melalui makanan dan vitamin yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan yang menangani kehamilan Anda.

Secara khusus pada saat menjelang persalinan, isolasi mandiri disarankan guna menjaga dari kemungkinan transmisi virus yang akan menyulitkan jika terjadi pada saat mendekati persalinan. Seperti kita ketahui bersama bahwa fasilitas kesehatan terutama dalam kaitan untuk penanganan COVID-19 yang membutuhkan ruangan isolasi dan persiapan lainnya tidak selalu tersedia dalam jumlah banyak. Hal ini tentunya akan menyulitkan keputusan tempat persalinan jika persalinan dilakukan pada kondisi dugaan atau terkonfirmasi COVID-19, sehingga pencegahan transmisi virus SARS-CoV-2 ini selalu diutamakan di setiap waktu kehamilannya. 

Sejalan dengan kontrol kehamilan, modifikasi pelayanan juga dilakukan pada saat persalinan. Persalinan adalah pelayanan yang tidak dapat ditunda dan membutuhkan keputusan penanganan yang cepat. Berdasarkan CDC, fasilitas kesehatan harus melakukan triage atau pemilahan pasien di era wabah ini, untuk mengetahui pasien yang dicurigai COVID-19 sehingga bisa menempatkan pasien tersebut ke tempat yang tepat dan mencegah transmisi virus lebih lanjut.

Cara skrining dan pemilahannya pun bervariasi, mulai hanya terbatas wawancara keluhan pasien dan riwayat kontak hingga pemeriksaan lab, radiologis serta pemeriksaan rapid test antibodi dan swab PCR. Pada daerah dengan jumlah kasus yang relatif sedikit dan transmisi lokal yang rendah tentunya pemeriksaan wawancara saja sudah cukup efektif untuk memilah. Namun pada daerah dengan jumlah kasus yang banyak dimana transmisi lokal belum terkontrol, kita perlu juga memilah pasien tanpa gejala.

Beberapa publikasi di US yang menerapkan pemeriksaan universal screening dengan swab PCR pada seluruh ibu hamil yang masuk ke kamar bersalin didapatkan 15 persennya menderita COVID-19, dan yang perlu menjadi perhatian mayoritas kasus kehamilan dengan COVID-19 ini bersifat asimptomatis atau tanpa gejala (29 dari 33 kasus; 87 persen).

Hal ini menunjukkan pemilahan pasien hanya dengan wawancara tidak dapat mendeteksi kasus tanpa gejala, atas dasar ini NHS atau jaminan kesehatan di UK mengeluarkan anjuran untuk melakukan pemeriksaan swab PCR pada seluruh pasien yang perlu masuk rumah sakit. Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kapasitas kemampuan tes swab PCR kita masih belum cukup banyak, sehingga beberapa modifikasi pemeriksaan lainnya dapat dijadikan alternatif, seperti pemeriksaan darah, foto thorax ataupun rapid test antibodi yang lebih mudah disediakan meskipun tentunya jika didapatkan hasil positif akan tetap memerlukan pemeriksaan swab PCR untuk konfirmasi.

Pengalaman di RS kami didapatkan beberapa kasus yang asimptomatik dan hanya didapatkan rapid test antibodi yang positif saja sehingga modifikasi ini dapat membantu untuk mendapatkan pasien tanpa gejala yang jelas. Gugus Tugas Covid-19 juga telah mengeluarkan rekomendasi untuk pemeriksaan rapid test antibodi ini.

Perlu diketahui bersama, berbagai upaya modifikasi ini dilakukan demi kesehatan bumil tersebut. Dapat dibayangkan jika ibu hamil terinfeksi covid-19 yang tanpa gejala dan tidak dapat diidentifikasi akan dapat menularkan virus jika berinteraksi dengan pasien sehat lainnya, berpotensi menularkan ke anaknya jika memberikan ASI secara langsung dan juga ke suami dan keluarga yang mendampingi ibu hamil tersebut. Lebih berat lagi, pasien tersebut dapat menulari juga tenaga kesehatan yang tentunya akan berdampak luas bagi pasien lainnya akibat kondisi tenaga kesehatan ditempat tersebut yang akan berkurang kemampuannya.

Hilangkan Stigma Negatif terhadap Hasil Positif COVID-19

Stigma negatif terhadap hasil positif COVID-19 perlu dihilangkan. Sebaliknya, kita harus menghadapi hasil positif dengan reaksi yang positif juga untuk mencegah transmisi lebih lanjut ke orang lain dan juga memberi kesempatan kita menjaga kesehatan tubuh agar tetap tanpa gejala atau tidak jatuh menjadi gejala pernapasan yang berat. Lain cerita jika kita mengetahui kondisi positif sudah dalam keadaan gangguan pernapasan berat apalagi sedang menggunaakn alat bantu napas (ventilator). Kondisi normal baru pada kehamilan dan persalinan tentunya perlu diketahui dan dipahami oleh semua pihak agar mendapatkan gambaran yang lengkap dan mampu melakukan persiapan yang adekuat.

Sejalan dengan apa yang dihadapi oleh masyarakat dan ibu hamil dan bersalin pada khususnya, baik nakes maupun fasilitas kesehatan juga beradaptasi terhadap kondisi normal baru ini. Fasilitas kesehatan harus membuat alur baru, melakukan triage atau skrining yang baik, membuat alokasi khusus untuk pasien terinfeksi COVID-19 dan berbagai modifikasi detil lainnya. Tenaga kesehatan? Bersama dengan semua tenaga RS lainnya yang berhubungan dengan pasien dan sebagai garda terdepan tentunya harus bersiap selalu agar tak terkontaminasi dengan virus SARS-COV2, penggunaan APD yang tebal dan tentunya tidak nyaman pada saat pertolongan persalinan (kamar bersalin atau kamar operasi) ataupun di poliklinik, wajib digunakan.

Kondisi berkeringat di dalam APD, pandangan kabur karena face shield mengembun, tangan yang tidak sensitif dalam melakukan tindakan pada saat operasi hingga cara komunikasi telemedicine dengan tidak bertatap muka secara langsung dengan pasien sehingga harus mempersiapkan teknik komunikasi yang baru juga harus segera diadaptasikan dengan cepat. Ibarat berperang melawan penjajah baru di tempat kita yaitu COVID-19, tentunya kita harus bersatu padu baik dari sisi pasien, tenaga kesehatan, rumah sakit dan pemerintah dengan cara perlawanan normal baru ini.

Lupakan sejenak prasangka dan praduga terhadap pasien, tenaga kesehatan, RS maupun pemerintah, mari kita bersama berusaha menurunkan transmisi COVID-19 ini dan tetap menjaga ibu hamil dan bersalin menghasilkan generasi yang berkualitas di Indonesia. 

 

**Penulis adalah dr. Manggala Pasca Wardhana, SpOG (K), Dosen Departemen Obgyn Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia, Pengurus Ikatan Dokter Indonesia Cabang Surabaya, dan berpraktik di RSUD Dr. Soetomo – RS Universitas Airlangga

Diagnosis Covid-19 pada Kehamilan dan Persalinan




Identifikasi kasus Covid-19 pada saat kehamilan dan terutama pada saat persalinan sangatlah penting. Beberapa keuntungan utama untuk mengetahui status Covid-19 antara lain:

1.    Untuk Pasien / Ibu bersalin, membantu mengetahui diagnosis pasien dengan Covid-19 sedini mungkin. Semakin cepat terdeteksi semakin efektif baik prevensi dan terapi yang dapat dilakukan agar tidak berlanjut ke kondisi yang lebih berat. Terkadang pasien merasa tidak ada keluhan, namun justru saat ini kondisi yang paling baik untuk diidentifikasi sehingga kasus yang ditemukan tidak terlambat yang tentunya akan sangat sulit diterapi hingga berdampak pada risiko kematian yang tinggi.

2.    Untuk bayi yang dilahirkan, dengan tepat dapat diputuskan isolasi sementara dari ibunya hingga ibunya dinyatakan bebas isolasi. Bayi yang terpapar infeksi dari ibu bersalin yang tidak terdiagnosis tentunya akan merugikan bayi itu sendiri. Infeksi pada bayi tentunya akan sangat rentan dan memerlukan penanganan yang lebih kompleks. ASI juga tidak diberikan secara direct breastfeeding untuk mengurangi paparan virus dari Ibu ke bayi

3.    Untuk pasien lain di dalam RS, dengan mengidentifikasi dan melakukan isolasi (kamar khusus untuk kasus infeksi) akan membatu pencegahan infeksi dan penularan dengan pasien lainnya. Ruang isolasi tidak perlu diartikan sebagai tempat yang menakutkan, ruangan ini hanya dimaksudkan agar pasien terinfeksi tidak memaparkan virusnya kepada lingkungan sekitar, komunikasi pun masih dapat dilakukan

4.    Untuk keluarga pasien, dengan diketahuinya kondisi Ibu bersalin dengan Covid-19 maka keluarga dapat segera dilakukan tracing. Selain itu, keluarga juga siap untuk melakukan isolasi mandiri di rumah bagi pasien jika sudah dapat dipulangkan dari RS

5.    Untuk tenaga medis, dengan diketahuinya kondisi ini, tentunya membuat tenaga medis semakin berhati-hati dan mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak tertular dari pasien. APD (alat pelindung diri) juga dapat diatur kembali dan disimpan untuk kasus lain yang membutuhkan

 

Identifikasi kasus ini cukup penting dan sangat tergantung dengan kondisi transmisi virus di tempat tersebut. Jika transmisi lokal tidak terjadi, atau hanya sedikit penularan di wilayah tersebut, maka pemeriksan gejala dan riwayat kontak sudah cukup. Namun pada kondisi dimana wilayah tersebut terjadi penularan yang cukup luas di masyarakat yang akan mengakibatkan banyaknya seseorang tertular namun tanpa gejala (asimptomatik), maka identifikasi kasus ini memerlukan pemeriksaan tambahan lainnya. Ideal untuk kasus persalinan yang tentunya berlangsung dalam hitungan waktu akan membutuhkan hasil yang cepat juga. Pemeriksaan PCR cepat dapat dilakukan, namun modifikasi pemeriksaan dengan rapid tes antibodi dapat dilakukan namun perlu dipahami bahwa hal ini tidak untuk menggantikan swab PCR, hanya sebagai alternatif dalam skrining pasien yang masuk ke RS termasuk Ibu bersalin

 

Link rekaman seminar (seminar ini diperuntukkan untuk tenaga kesehatan, namun dapat dicoba dipelajari bagi awam)

 

Pentingnya pemeriksaan triple prevensi pada Ibu hamil




JawaPos.com – Kasus ibu hamil (bumil) yang menolak menjalani program screening triple eliminasi masih banyak. Screening atau pemeriksaan tahap awal tersebut bermanfaat untuk mengetahui adanya penyakit menular pada ibu seperti HIV, sifilis, atau hepatitis. Dengan demikian, dokter bisa menentukan langkah pencegahan agar penyakit tersebut tidak menular pada janin yang dikandungnya.

Hal itu diungkapkan dr Manggala Pascha Wardhana SpOG, dokter spesialis obstetri dan ginekologi sekaligus staf medis Klinik Divisi Kedokteran Fetomaternal RSUD dr Soetomo, kemarin. Screening itu disebut triple eliminasi karena ada tiga penyakit berbahaya dan menular yang harus dicegah penularannya sedini-dininya.

Manggala menyatakan, bumil enggan memeriksakan diri karena takut menghadapi hasil pemeriksaan. ’’Mereka biasanya takut kalau positif atau takut ketahuan,’’ katanya.

Selain itu, dia mengungkapkan, beberapa bumil merasa segan menjalani screening karena sudah merasa sehat. Padahal, pemeriksaan laboratorium untuk tiga penanda infeksi tersebut telah disediakan dan tidak dibebani biaya sama sekali.

Manggala menegaskan, deteksi dini tersebut merupakan kunci dalam upaya pencegahan penyakit yang bisa ditularkan ibu kepada janin. Jika janin yang dikandung si ibu sudah terinfeksi penyakit menular tersebut, bisa jadi bayi akan sakit setelah dilahirkan. Penyakit tersebut juga bisa mengakibatkan kecacatan sehingga mengurangi kualitas hidup si anak. Risiko tertinggi adalah kematian.

Sebenarnya, risiko-risiko tersebut bisa diatasi sejak dini. Apabila bumil positif mengidap tiga penyakit itu, yang harus dilakukan adalah cepat-cepat memberikan obat yang sudah ditentukan untuk mencegah penularan kepada bayi.

’’Misalnya, untuk HIV, bisa diberikan terapi obat ARV,’’ ucapnya. Selain itu, bisa dilakukan pemeriksaan lebih detail untuk memastikan si janin mendapat kehidupan yang baik. (ika/c5/any)

Risiko kehamilan di bawah usia 20 tahun




Jakarta. Pergaulan yang salah terkadang menyebabkan anak remaja hamil di luar nikah. Tak hanya merugikan masa depan si remaja, hamil di bawah usia 20 tahun juga merugikan kesehatan. 

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, 10% remaja berusia 15—19 tahun di Indonesia telah menjadi ibu. Padahal, hamil di usia tersebut memiliki banyak risiko komplikasi persalinan. 

Berikut risiko hamil saat usia kurang dari 20 tahun, menurut Manggala Pasca Wardhana, pengasuh rubrik KEHAMILAN Tabloid Nakita yang terbit, Rabu 23 November 2016.: 

- Risiko abortus atau keguguran lebih besar.

Belum siapnya bumil terhadap kehamilannya sangat memengaruhi kondisi ini. Bahkan adolescent pregnancy sangat berhubungan dengan kondisi abortus provocatus criminalis atau usaha melakukan pengguguran tanpa indikasi medis tertentu. 

Hal ini tentunya akan semakin membahayakan nyawa bumil belia tersebut dan bahkan dapat menyebabkan berbagai kecacatan di rahim. 

- Hipertensi dalam kehamilan.

Gangguan hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia sering terjadi dikarenakan kurangnya kemampuan adaptasi rahim dalam menerima produk konsepsi atau pembuahan. Dampaknya, janin tak diterima secara keseluruhan sehingga menyebabkan kondisi yang sering disebut dengan keracunan dalam kehamilan (preeklamsia). 

- Meningkatnya persalinan prematur dan berat badan lahir rendah.

Kondisi ini kerap diakibatkan kurang matangnya alat reproduksi ibu hamil dan kurangnya kepedulian dalam menjaga kehamilan, selain juga dapat diakibatkan berbagai kelainan, semisal, hipertensi dalam kehamilan. 

- Berat bayi lahir rendah (BBLR).

Meningkatnya persalinan prematur tentunya akan diikuti dengan kondisi bayi dengan berat badan lahir rendah. Kedua hal ini tentunya dapat berdampak terhadap bayi, baik dalam jangka dekat (mulai gangguan pencernaan hingga pernapasan) maupun jangka panjang (semisal, cerebral palsy, yaitu kelainan permanen pada otak yang memengaruhi perkembangan motorik dan postur tubuh; retardasi mental;dan gangguan tumbuh kembang). 

- Ibu mengalami postpartum blues (baby blues).

Kurangnya kesiapan mental serta adaptasi bumil terhadap lingkungan baru dan tanggung jawab baru di kesehariannya setelah melahirkan dapat memicu terjadinya baby blues pada ibu. Pada kondisi ini sering terjadi usaha penelantaran anak dan semacamnya. 

- Meningkatkan risiko kematian.

Dengan meningkatnya risiko-risiko yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentu pada akhirnya semua risiko tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian ibu maupun janin. 

Mengapa risiko komplikasi kehamilan dan persalinannya begitu besar? Pasalnya, di bawah usia 20 tahun, perempuan belum siap atau belum cukup matang untuk menghadapi kehamilan. 

Ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan ibu usia muda terhadap berbagai persiapan dan evaluasi kehamilan hingga persalinannya. Risiko yang besar juga akan dialami bila ibu hamil di usia tua alias 35 tahun ke atas.

Sistem JKN dan kesehatan Ibu Hamil


https://www.dw.com/id/sistem-jkn-keuntungan-atau-hambatan-bagi-pelayanan-kesehatan-ibu-hamil/a-49993588

Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit yang terkadang memerlukan biaya tinggi dan mengganggu potensi pendapatan untuk kehidupannya dapat menimbulkan istilah "SADIKIN” sakit hingga menjadi miskin. Dengan diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan seluruh pesertanya mendapatkan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya.

Tujuan yang baik ini disambut juga dengan baik, terbukti dengan meningkatnya fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS sebagai badan penyelenggaranya, serta antusiasme masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Namun dalam perjalanannya mulai timbul beberapa permasalahan didalam pelaksanaannya yang akhir–akhir ini sedang viral, yaitu defisit keuangan BPJS yang berdampak pada pembayaran ke fasilitas kesehatan yang tentunya dapat mempengaruhi upaya pelayanan kesehatan yang optimal.


Dengan meningkatnya kepesertaan BPJS dan dapat terlayaninya semua jenis pelayanan kesehatan maternal (kecuali infertilitas / gangguan kesuburan) tentunya dari sisi pengguna layanan kesehatan atau pasien akan sangat diuntungkan dengan adanya sistem ini. Selain kemudahan akses, harapan masyarakat terhadap kualitas pelayanan juga sangat diinginkan. Kualitas pelayanan juga didambakan oleh pemberi layanan kesehatan, karena patient safety selalu menjadi keutamaan bagi fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan.

Nah, menarik untuk kita lihat lebih dalam lagi bagaimana mekanisme pembiayaan maternal dari BPJS ke faskes di sistem JKN ini untuk dapat memperkirakan bagaimana luaran kualitas pelayanan kesehatan yang dihasilkan.

Perubahan signifikan sistem pembiayaan layanan kesehatan di era JKN ini adalah model pembiayaan prospective payment atau sistem paket menggantikan model retrospective payment atau dikenal dengan fee for service.

Pada sistem prospective, setiap pembayaran ada paket–paketnya tersendiri yang merupakan gabungan dari beberapa pelayanan di dalamnya. Besaran sistem paket sudah ditentukan sehigga faskes bisa melihat terlebih dahulu berapa potensi klaim yang didapatkan untuk perencanaan tindakan tertentu. Hal ini berbeda dengan sistem retrospective dimana seluruh pelayanan dapat dibayarkan tersendiri masing–masingnya, sehingga harga pelayanan ditentukan terakhir setelah semua pelayanan dilakukan.

Pembiayaan secara prospective cukup baik karena mengajak fasilitas kesehatan agar bekerja secara efektif dan efisien sesuai besaran klaim paket yang tersedia. Namun penghitungan besaran klaim ini tentunya tetap harus dijaga apakah sudah sesuai dengan nilai aktuaria? Jika dibawah nilai keekonomian atau aktuaria, tentunya akan menyebabkan faskes melakukan efisiensi berlebihan yang mungkin dapat mengganggu optimalisasi pelayanan, meskipun di sisi lainnya BPJS sebagai payer akan lebih sedikit mengeluarkan dananya.


Bagaimana kondisinya pada pelayanan maternal? Apakah sudah sesuai?

Di layanan primer, sesuai Permenkes 52 tahun 2016, beberapa pembiayaan maternal bersifat non kapitasi atau dibayar jika melakukan tindakan per paket tindakan. Untuk ANC (Antenatal Care, pemeriksaan kehamilan) dibayar 50 ribu per kunjungan dan diberikan dalam bentuk paket paling sedikit 4 kali pemeriksaan yang dihargai 200 ribu. Untuk paket persalinan vaginal normal dihargai 700 ribu jika dilakukan bidan. Sedangkan di RS (sebagai contoh: RS tipe C, kelas 3 di kota Surabaya dengan severity level ringan) melalui sistem pembiayaan yang sering disebut INA-CBGs (Indonesian Case Based Groups) pada kasus rujukan, paket persalinan  vaginal dihargai Rp 1.544.900 sedangkan paket persalinan SC ((sectio caesarea, operasi Caesar) dihargai Rp 4.830.200. Apakah nilai ini sudah sesuai aktuaria?

SC elektif yang terencana mungkin memiliki beban harga paling rendah. Jika SC tersebut dalam kondisi emergency, misalnya ketuban pecah, dilakukan induksi selama 1 harian dan gagal hingga akhirnya harus SC, tentunya kondisi ini akan meningkatkan beban pembiayaan RS. Namun pada sistem INA-CBGs ini, kedua model kondisi persalinan SC tersebut akan mendapatkan harga yang sama karena menggunakan sistem paket. Sehingga dapat dibayangkan apa dampak pelayanan yang terjadi jika nilai klaim yang ditentukan pemerintah berada dibawah nilai aktuaria.

Memang di dalam model INA-CBGs, didapatkan beberapa klaim yang untung dan rugi, RS harus melihat secara keseluruhan, memperbaiki tata kelola dan transparansi agar sesuai dengan permodelan prospective payment. Namun melihat kondisi klaim kebanyakan pelayanan kesehatan maternal yang cukup rendah dibandingkan nilai aktuaria, dapat memberi dampak gangguan pelayanan maternal, karena tidak mungkin RS merugi terus dalam setiap penghitungan pelayanannya yang secara langsung juga berpengaruh pada tenaga kesehatan yang bekerja di RS tersebut.

Permasalahan lain yang cukup mengganggu di era JKN ini juga adanya beberapa aturan yang memberatkan dan adanya beberapa multitafsir antara BPJS dan pelaksana kesehatan terhadap aturan yang ada. Salah satu contoh di layanan primer adalah layanan ANC yang harus paling sedikit 4 kali kunjungan baru akan dibayar. Bayangkan jika seorang pasien pada saat kunjungan ke 3 hamil memerlukan rujukan ke layanan sekunder karena permasalahan kesehatannya. Bagaimana pembiayaan untuk ketiga ANC yang telah dilakukan?

Perlu dipahami bersama, dari sisi pelayanan kesehatan, upaya yang dilakukan dan sumber daya yang diperlukan terhadap persiapan keselamatan bayi pada persalinan SC tidak dapat disamakan dengan persalinan normal pada kasus fisiologis di layanan primer. Tentunya hal ini sangat memberatkan RS jika klaimnya harus mengikutsertakan klaim ibunya (yang sudah berada dibawah nilai aktuaria tersebut).

Masih banyak kondisi pelayanan maternal lainnya yang bermasalah di era JKN ini seperti pelayanan keluarga berencana yang menjadi pilar pertama safe motherhood, mispersepsi definsi persalinan normal yang sering disamakan dengan persalinan pervaginal dan beberapa permasalahan lainnya.

Memang dalam kondisi defisit keuangan BPJS yang semakin tahun semakin tinggi, beberapa upaya dilakukan untuk mengurangi pembiayaan kesehatan, seperti hadirnya peraturan BPJS yang telah disebutkan di atas. Melakukan verifikasi klaim secara ketat menjadi salah satu usaha membatasi pengeluaran dari pandangan payer. Namun dari sisi pelaksana pelayanan kesehatan, beberapa pengaturan layanan kesehatan dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang bisa membahayakan kesehatan masyarakat itu sendiri, yang menjadi tujuan utama dari dibentuknya sistem JKN ini.

Universal Health Coverage atau sistem JKN ini bukan berarti free coverage for all intervention, tidak ada negara yang mampu menyediakan free services untuk coverage terhadap semua tindakan dengan pengumpulan iuran yang cukup rendah seperti di Indonesia. Berbagai upaya lain untuk mengurangi defisit BPJS dapat dilakukan, seperti pengaturan dan peningkatan iuran peserta (yang juga dinilai berada dibawah nilai aktuaria) atau meningkatkan upaya cost sharing dengan nilai pembiayaan kesehatan yang aktual (bukan dengan nilai INA-CBGs seperti yang berlaku sekarang) atau membatasi layanan kesehatan yang dapat dijamin oleh BPJS.

Sistem JKN sudah diberlakukan sejak 2014, namun hampir seluruh pihak baik payer (BPJS), provider (faskes dan nakes) serta user (peserta) belum dapat tersenyum. Ibarat kapal yang berjalan di tengah lautan dengan lubang yang cukup banyak. Tidak bisa kita hanya menutup satu lubang (mengurangi pembiayaan kesehatan dengan mengatur beberapa layanan kesehatan) agar kapal tersebut tidak tenggelam, upaya menutup lubang lainnya harus dilakukan bersama (seperti pengaturan iuran peserta, menambah mekanisme cost sharing dan upaya lainnya).

Sistem JKN harus disehatkan terlebih dahulu bersama–sama agar sistem ini dapat menyehatkan seluruh masyarakatnya. Penyelesaian permasalahan perlu diupayakan dari berbagai sisi, tidak saling menyalahkan dan hanya berpedoman dari satu sisi saja. Dengan demikian, harapan kita upaya kesehatan maternal dapat ditingkatkan dan menunjang upaya penurunan angka kematian Ibu yang masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara.

*Manggala Pasca Wardhana, dr., SpOG (K) adalah Staf pengajar Divisi Kedokteran Fetomaternal, Departemen Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unair, RSUD Dr. Soetomo – RS Unair, Ketua Pokja JKN dan Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia.