Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit yang terkadang memerlukan biaya tinggi dan mengganggu potensi pendapatan untuk kehidupannya dapat menimbulkan istilah "SADIKIN” sakit hingga menjadi miskin. Dengan diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan seluruh pesertanya mendapatkan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya.
Tujuan yang baik ini disambut juga dengan baik, terbukti dengan meningkatnya fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS sebagai badan penyelenggaranya, serta antusiasme masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Namun dalam perjalanannya mulai timbul beberapa permasalahan didalam pelaksanaannya yang akhir–akhir ini sedang viral, yaitu defisit keuangan BPJS yang berdampak pada pembayaran ke fasilitas kesehatan yang tentunya dapat mempengaruhi upaya pelayanan kesehatan yang optimal.
Dengan meningkatnya kepesertaan BPJS dan dapat terlayaninya semua jenis pelayanan kesehatan maternal (kecuali infertilitas / gangguan kesuburan) tentunya dari sisi pengguna layanan kesehatan atau pasien akan sangat diuntungkan dengan adanya sistem ini. Selain kemudahan akses, harapan masyarakat terhadap kualitas pelayanan juga sangat diinginkan. Kualitas pelayanan juga didambakan oleh pemberi layanan kesehatan, karena patient safety selalu menjadi keutamaan bagi fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan.
Nah, menarik untuk kita lihat lebih dalam lagi bagaimana mekanisme pembiayaan maternal dari BPJS ke faskes di sistem JKN ini untuk dapat memperkirakan bagaimana luaran kualitas pelayanan kesehatan yang dihasilkan.
Perubahan signifikan sistem pembiayaan layanan kesehatan di era JKN ini adalah model pembiayaan prospective payment atau sistem paket menggantikan model retrospective payment atau dikenal dengan fee for service.
Pada sistem prospective, setiap pembayaran ada paket–paketnya tersendiri yang merupakan gabungan dari beberapa pelayanan di dalamnya. Besaran sistem paket sudah ditentukan sehigga faskes bisa melihat terlebih dahulu berapa potensi klaim yang didapatkan untuk perencanaan tindakan tertentu. Hal ini berbeda dengan sistem retrospective dimana seluruh pelayanan dapat dibayarkan tersendiri masing–masingnya, sehingga harga pelayanan ditentukan terakhir setelah semua pelayanan dilakukan.
Pembiayaan secara prospective cukup baik karena mengajak fasilitas kesehatan agar bekerja secara efektif dan efisien sesuai besaran klaim paket yang tersedia. Namun penghitungan besaran klaim ini tentunya tetap harus dijaga apakah sudah sesuai dengan nilai aktuaria? Jika dibawah nilai keekonomian atau aktuaria, tentunya akan menyebabkan faskes melakukan efisiensi berlebihan yang mungkin dapat mengganggu optimalisasi pelayanan, meskipun di sisi lainnya BPJS sebagai payer akan lebih sedikit mengeluarkan dananya.
Bagaimana kondisinya pada pelayanan maternal? Apakah sudah sesuai?
Di layanan primer, sesuai Permenkes 52 tahun 2016, beberapa pembiayaan maternal bersifat non kapitasi atau dibayar jika melakukan tindakan per paket tindakan. Untuk ANC (Antenatal Care, pemeriksaan kehamilan) dibayar 50 ribu per kunjungan dan diberikan dalam bentuk paket paling sedikit 4 kali pemeriksaan yang dihargai 200 ribu. Untuk paket persalinan vaginal normal dihargai 700 ribu jika dilakukan bidan. Sedangkan di RS (sebagai contoh: RS tipe C, kelas 3 di kota Surabaya dengan severity level ringan) melalui sistem pembiayaan yang sering disebut INA-CBGs (Indonesian Case Based Groups) pada kasus rujukan, paket persalinan vaginal dihargai Rp 1.544.900 sedangkan paket persalinan SC ((sectio caesarea, operasi Caesar) dihargai Rp 4.830.200. Apakah nilai ini sudah sesuai aktuaria?
SC elektif yang terencana mungkin memiliki beban harga paling rendah. Jika SC tersebut dalam kondisi emergency, misalnya ketuban pecah, dilakukan induksi selama 1 harian dan gagal hingga akhirnya harus SC, tentunya kondisi ini akan meningkatkan beban pembiayaan RS. Namun pada sistem INA-CBGs ini, kedua model kondisi persalinan SC tersebut akan mendapatkan harga yang sama karena menggunakan sistem paket. Sehingga dapat dibayangkan apa dampak pelayanan yang terjadi jika nilai klaim yang ditentukan pemerintah berada dibawah nilai aktuaria.
Memang di dalam model INA-CBGs, didapatkan beberapa klaim yang untung dan rugi, RS harus melihat secara keseluruhan, memperbaiki tata kelola dan transparansi agar sesuai dengan permodelan prospective payment. Namun melihat kondisi klaim kebanyakan pelayanan kesehatan maternal yang cukup rendah dibandingkan nilai aktuaria, dapat memberi dampak gangguan pelayanan maternal, karena tidak mungkin RS merugi terus dalam setiap penghitungan pelayanannya yang secara langsung juga berpengaruh pada tenaga kesehatan yang bekerja di RS tersebut.
Permasalahan lain yang cukup mengganggu di era JKN ini juga adanya beberapa aturan yang memberatkan dan adanya beberapa multitafsir antara BPJS dan pelaksana kesehatan terhadap aturan yang ada. Salah satu contoh di layanan primer adalah layanan ANC yang harus paling sedikit 4 kali kunjungan baru akan dibayar. Bayangkan jika seorang pasien pada saat kunjungan ke 3 hamil memerlukan rujukan ke layanan sekunder karena permasalahan kesehatannya. Bagaimana pembiayaan untuk ketiga ANC yang telah dilakukan?
Perlu dipahami bersama, dari sisi pelayanan kesehatan, upaya yang dilakukan dan sumber daya yang diperlukan terhadap persiapan keselamatan bayi pada persalinan SC tidak dapat disamakan dengan persalinan normal pada kasus fisiologis di layanan primer. Tentunya hal ini sangat memberatkan RS jika klaimnya harus mengikutsertakan klaim ibunya (yang sudah berada dibawah nilai aktuaria tersebut).
Masih banyak kondisi pelayanan maternal lainnya yang bermasalah di era JKN ini seperti pelayanan keluarga berencana yang menjadi pilar pertama safe motherhood, mispersepsi definsi persalinan normal yang sering disamakan dengan persalinan pervaginal dan beberapa permasalahan lainnya.
Memang dalam kondisi defisit keuangan BPJS yang semakin tahun semakin tinggi, beberapa upaya dilakukan untuk mengurangi pembiayaan kesehatan, seperti hadirnya peraturan BPJS yang telah disebutkan di atas. Melakukan verifikasi klaim secara ketat menjadi salah satu usaha membatasi pengeluaran dari pandangan payer. Namun dari sisi pelaksana pelayanan kesehatan, beberapa pengaturan layanan kesehatan dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang bisa membahayakan kesehatan masyarakat itu sendiri, yang menjadi tujuan utama dari dibentuknya sistem JKN ini.
Universal Health Coverage atau sistem JKN ini bukan berarti free coverage for all intervention, tidak ada negara yang mampu menyediakan free services untuk coverage terhadap semua tindakan dengan pengumpulan iuran yang cukup rendah seperti di Indonesia. Berbagai upaya lain untuk mengurangi defisit BPJS dapat dilakukan, seperti pengaturan dan peningkatan iuran peserta (yang juga dinilai berada dibawah nilai aktuaria) atau meningkatkan upaya cost sharing dengan nilai pembiayaan kesehatan yang aktual (bukan dengan nilai INA-CBGs seperti yang berlaku sekarang) atau membatasi layanan kesehatan yang dapat dijamin oleh BPJS.
Sistem JKN sudah diberlakukan sejak 2014, namun hampir seluruh pihak baik payer (BPJS), provider (faskes dan nakes) serta user (peserta) belum dapat tersenyum. Ibarat kapal yang berjalan di tengah lautan dengan lubang yang cukup banyak. Tidak bisa kita hanya menutup satu lubang (mengurangi pembiayaan kesehatan dengan mengatur beberapa layanan kesehatan) agar kapal tersebut tidak tenggelam, upaya menutup lubang lainnya harus dilakukan bersama (seperti pengaturan iuran peserta, menambah mekanisme cost sharing dan upaya lainnya).
Sistem JKN harus disehatkan terlebih dahulu bersama–sama agar sistem ini dapat menyehatkan seluruh masyarakatnya. Penyelesaian permasalahan perlu diupayakan dari berbagai sisi, tidak saling menyalahkan dan hanya berpedoman dari satu sisi saja. Dengan demikian, harapan kita upaya kesehatan maternal dapat ditingkatkan dan menunjang upaya penurunan angka kematian Ibu yang masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
*Manggala Pasca Wardhana, dr., SpOG (K) adalah Staf pengajar Divisi Kedokteran Fetomaternal, Departemen Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unair, RSUD Dr. Soetomo – RS Unair, Ketua Pokja JKN dan Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar